TEMPO.CO, Jakarta - Wacana amandemen Undang-undang Dasar atau UUD 1945 ujug-ujug mencuat. PDIP merupakan salah satu partai yang getol mendorong adanya perubahan konstitusi. Isu yang muncul adalah menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa desa memiliki peran yang penting bagi terbentuknya suatu Negara. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk dapat mengetahui kedudukan desa dalam konstruksi Negara, maka perlu dikaji lebih lanjut dalam berbagai perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari Konstitusi. Terkait dengan hal tersebut, maka penulis membaginya dalam 3 (tiga) periodeisasi, yaitu periode Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen), periode transisi (masa perubahan UUD Tahun 1945) dan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 (setelah amandemen).
download uud 1945 setelah amandemen ke 4
Pengaturan yang terkait dengan keberadaan desa pada masa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen) tidak dapat dipisahkan dari berbagai pengaturan yang terkait dengan pemerintahan daerah atau pemerintahan desa, diantaranya adalah ;
Berdasarkan berbagai uraian mengenai keberadaan desa pada masa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen, dengan berlakunya UU nomor Nomor 1 tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, dapat diketahui bahwa pada dasarnya desa ditempatkan sebagai suatu satuan pemerintahan yang paling bawah, yaitu sebagai daerah tingkat III. Keberadaan desa tersebut juga dilengkapi dengan hak otonomi, hak medebewind, maupun hak asal usul sebagai daerah istimewa.
Dalam perkembangannya, setelah diamandemennya UUD Tahun 1945 termasuk Pasal 18, maka keberadaan UU Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.Ketentuan tersebut tidak menempatkan desa sebagai bagian dari susunan wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa dalam kedudukannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dilepas pisahkan dengan berbagai keberadaan daerah yang lain, baik itu, propinsi atau kabupaten/kota. Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa : Keberadaan desa sebelum amandemen UUD Tahun 1945 menempatkan desa sebagai daerah otonom tingkat III (tiga). Setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945, maka keberadaan desa memiliki 2 (dua) identitas, yaitu pertama secara kewilayahan, desa tidak diatur sebagai bagian wilayah NKRI sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, melainkan diatur secara tersendiri dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak asal-usulnya. Dimana, salah satu hak asal-usulnya terkait dengan penguasaan terhadap wilayahnya, dengan demikian keberadaan desa secara langsung berada dibawah negara. dengan tetap berada pada prinsip NKRI, yaitu tidak melahirkan Negara didalam Negara. Kedua, secara fungsi pemerintahan, maka berdasarkan Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004, menempatkan pemerintahan desa sebagai bagaian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota, sehingga keberadaan pemerintahan desa adalah sebagai sub sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Berbicara tentang kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang amandemen UUD 1945, yang harus diperhatikan adalah bahwa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) harus dimasukkan dalam UUD 1945. Hal itu mengingat setiap pergantian rezim, pemerintah dan pergantian menteri selalu terjadi perubahan kebijakan secara drastis.
Dekan Fakultas Hukum (FH) UWM Kelik Endro Suryono, SH., M.Hum mengatakan diskusi digelar sebagai hasil kerjasama My Esti Wijayati dan UWM dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat tentang kewenangan MPR RI yang akan diatur dalam amandemen UUD 1945.
Dalam pemaparan materi, Esti selalu pembicara pertama memaparkan kedudukan MPR sebelum amandemen, pasca reformasi dan sesudah amandemen. Sebelum amandemen kedudukan MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan yang besar tersebut dikarenakan MPR adalah pelaksana kedaulatan rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945.
Muhammad Fikri Alan,S.H.,M.H pembicara kedua menerangkan amandemen dilakukan dengan alasan bahwa UUD 1945 pada dasarnya memang di desain sebagai Konstitusi yang bersifat statis. Disamping itu, UUD 1945 saat ini dirasa perlu dilakukan perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan nasional.
Perubahan (amandemen) Konstitusi dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia memberikan perubahan mendasar dalam proses penyusunan arah pembangunan hukum nasional. Hal ini didasari oleh perubahan-perubahan politik dalam sejarah Indonesia antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, karakter produk hukum juga berubah. Perubahan politik yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum bukan hanya menyangkut perubahan UU melainkan menyentuh perubahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 merupakan agenda atau produk reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran yang kuat yang dimotori oleh berbagai kampus dan para penggiat demokrasi bahwa reformasi konstitusi merupakan keharusan jika kita mau melakukan reformasi.[i] Perubahan UUD 1945 ini akan merubah sistem kelembagaan negara termasuk kedudukan MPR yang akan berdampak pada hilangnya kewenangan MPR untuk membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan pembangunan nasional yang bertahap dan berkesinambungan. Sebelum adanya perubahan (amandemen) UUD 1945 arah pembangunan nasional ditetapkan melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN merupakan haluan negara tentang pembangunan nasional dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun. Setelah amandemen, perencanaan untuk menjamin tercapainya tujuan negara diatur melalui sistem perencaan pembangunan nasional melalaui keluarnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU-SPPN) yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Baik GBHN maupun RPJPN hakekatnya sama sebagai pedoman arah pembangunan Indonesia baik pemerintah pusat dan daerah.
Perubahan landasan hukum dalam perencanaan pembangunan nasional sebagai pengganti GBHN pada masa setelah amandemen UUD 1945 banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dengan dihapuskannya GBHN, sebagian pihak menilai konsistensi dan kontinuitas belum berjalan karena perencanaan pembangunan diwadahi dalam undang-undang. UU-SPPN beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya yang menjadi landasan perencanaan pembangunan dianggap tidak mampu menjamin kesinambungan dan keselarasan pembangunan antara pusat dan daerah. Pemikiran-pemikiran ini menimbulkan adanya wacana dihidupkannya kembali GBHN yang lebih mudah dipahami untuk menjalankan roda pembangunan hukum nasional.
Tujuan perencanaan pembangunan hukum nasional tersebut diatas terdapat persamaan dan perbedaan cara pandang. Persamaannya adalah responsif dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Sedangkan perbedaan yang mendasar di dalam GBHN adalah bersifat formal dengan menitikberatkan pada tata hukum berbentuk tertulis, terunifikasi dan mekanisme prosedural dalam proses pengambilan keputusan. Dalam SPPN memfokuskan pada koordinasi antara pelaku pembangunan antara Pusat dan Daerah serta menjamin tercapainya penggunaan sumber daya yang efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Selain perbedaan tujuan perencanaan pembangunan hukum nasional, berikut ini perbandingan perencanaan pembangunan nasional sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 sebagai berikut :
Berdasarkan tabel di atas terdapat 3 (tiga) perbedaan mendasar di dalam pembentukan landasan hukum GBHN dan RPJPN/RPJPM, Strategi pembangunan yang digunakan untuk mencapai tujuan, materi pembangunan. Pertama, pembentukan landasan hukum perencanaan pembangunan nasional berbeda sebagai konsekwensi logis amandemen UUD 1945. Menurut Saldi Isra, perubahan terhadap pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berimplikasi pada reposisi peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi gabungan antara DPR dan DPD. Kemudian, kewenangan MPR dari menetapkan GBHN dan memilih presiden dan wakil presiden menjadi mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD dan seterusnya.[viii] Sebelum amandemen Tap MPR/S dianggap lebih tinggi dari undang-undang karena dibuat oleh lembaga tertinggi negara yang menetapkan undang-undang. Pada masa setelah amandemen UUD 1945 terdapat perubahan kewenangan MPR yang berakibat pada berubahnya kedudukan Ketetapan MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Perencanaan pembangunan pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dimuat dalam GBHN dan dikeluarkan dalam bentuk Tap MPR yang ditetapkan dalam jangka waktu lima tahun sekali. GBHN menentukan arah kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan Presiden. Kedudukan Tap MPR adalah merupakan keputusan negara yang merupakan peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan dan mempunyai kekuatan mengikat keluar dan ke dalam MPR. Terdapat perbedaan antara ketetapan dan keputusan MPR. Dalam pembedaan ini maka segala putusan yang berlaku ke dalam anggota majelis sendiri, dituangkan dalam bentuk Keputusan, sedangkan yang berlaku keluar majelis dituangkan dalam bentuk Ketetapan.[ix] 2ff7e9595c
Comentários